Oleh: Y. Wibisono
mimpiku di bumi etam
adalah pertiwi yang bernanah
darah menetes, gaunnya terkoyak
tercabik-cabik ranting kering
lalu menyisa luka hitam
dan airmata kerontang
mimpiku di bumi etam
adalah bukit-bukit yang terpanah rebah
rimba perawan yang terjamah kasar
terlentang hingga berbilur
rimba yang ditelanjangi
dan kita jumawa di atasnya
mengacungkan tongkat sihir
meniup serpihan tanah
menjadi hamburan permata
bagi tuan dan nyonya
menjelma surga semu
untuk jelata yang terlupakan
mimpiku di bumi etam
adalah tanah yang berkeringat
dengan peluh yang bertimbun
merayap di selokan kota
bercampur liur
di bibir membiru yang gusar
lalu, peluh dan liur itu membuncah
menjelma sepetak telaga hitam buram
menghampiri kita dengan jeritan
yang menyayat musim
dan, di ujung mimpiku
debu trotoar menghampiri
dan membisikku satu rahasia:
di sini, tak pernah ada mimpi
maka semenjaknya,
aku takut bermimpi di sini!
Samarinda, Maret 2004
Catatan:
aku saksikan developer gencar meratakan tanah, aku lihat gedung-gedungbertumbuhan seperti jamur di awal musim, aku juga lihat lumpur-lumpurmemenuhi selokan jalan, banjir hujan mengantarkan sampah busuk melintasi hidung kita. kutulis puisi ini karena aku cinta bumi etam!