Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Tuesday, June 14, 2005

SIMPANG EMPAT AIR PUTIH

Oleh: Y. Wibisono

ada yang tertegun di sudut simpang
termangu di bawah temaram lampu jalan
waktu telah mencuri darinya
seorang lelaki yang ketinggalan taksi

bang udin, juragan ikan bakar itu
telah pula berambut dua warna
seperti warna kehidupan yang telah direguk
di antara aroma asap patin bakar dan peluh
para sopir bertelanjang dada

dan dulu, dulu sekali
terngianglah gurauan itu:
"berikan nomor-nomor jitu dari komputermu
kau bisa makan gratis sebulan di sini
dan keponakanku yang dari handil itu
bolehlah kau pacari"

ah, abang udin
kalau aku bisa, mungkin kubeli sendiri
tapi keponakan yang dari handil itu
senyumnya memang menawan hati

// ini sebuah simpang dalam putaran waktu
ketika dulu para petani teluk dalam dan sebulu
beradu janji dengan pedagang segiri dan pasar pagi
inilah perbatasan, ketika mobil-mobil sayur dan palawija
datang memecah sunyi,
membanguni kota yang terkantuk //

pria itu melangkah dengan tangan terkepal
ada yang harus ditemukan
seorang belia yang dulu bermain tali
pernah menggayutinya dengan tangan-tangan kecil
yang menghapuskan penat

ah, dia harus meneliti setiap wajah
wajah-wajah yang menatap asing
dalam temaram lampu jalan
adakah yang suka bermain tali?

dan juga wajah tua itu
bang udin, masihkah akan kau kenali aku?

Samarinda, 14 Juni 2005

Wednesday, June 08, 2005

SKETSA DUKA

Oleh: Y. Wibisono

duka itu adalah
malam-malam yang kering
dengan kegetiran yang mengiris
ditiupkan dari langit dan awan hitam
yang berarak tanpa arah

duka itu adalah
seorang pria yang memunguti serpihan masa kecil
seperti pengembara yang menghitung
dedaun kering yang dihamburkan angin
dari musim yang asing

sepanjang samarinda-sepinggan
hanyalah noktah-noktah kegelapan
dan goresan kelam pada kanvas usang
bungurasih, mojokerto, kediri
pun hanyalah tulisan-tulisan tanpa arti
dalam labirin kesenyapan tanpa tepi
aku mengigaukanmu, kak
bersama tangisan malam dan nyanyian parau
yang berderit di antara ranting kering
dalam lukisan hitam tanpa bayang

airmata ini telah berganti darah
dan mengering menjelma pahatan bisu
meretak dalam dada lelaki yang terkulai

kepergianmu kak, adalah ribuan panah
yang menancapi ulu hati tanpa sisa!

lalu, rindu itu adalah
sebuah padang di negeri silam
dengan nyanyian angin yang meniupi
pucuk-pucuk kemuning dan rerumput liar
dan aku, si kanak yang merengek
menggayuti lenganmu
ingin menjadi belalang dan kupu-kupu

kepergianmu adalah kejamnya waktu
yang melindas masa lalu!

baiklah, kakak
kurelakan kepergianmu
temuilah Dia
aku akan menyusulmu, kelak
mungkin sebagai kanak lagi

Samarinda, 8 Juni 2005