Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Wednesday, October 11, 2006

MERINDU RAMADHAN

Oleh: Y. Wibisono

Ramadhan mendatangiku seperti seseorang
yang muncul dari masa kecil. Membawa
cerita tentang petasan dan meriam bumbung.
Juga sepotong kisah ketika malam-malam
serombongan kanak berkeliling kampung,
memukuli bambu, membanguni petani yang
lelap dalam mimpi tentang panen semu
dan musim yang melambai pergi.

Ramadhan mengunjungiku. Ia datang, seperti
seorang utusan dari negeri kubur. Berkisah
tentang jiwa-jiwa yang meluruh, menggumuli
malam dengan zikir-zikir panjang, dengan
tasbih yang tiap butirnya adalah airmata
yang membatu. Membawakanku cermin, yang
padanya tergambar segala coreng legam
jejak langkahku.

Ramadhan menyapaku, memegang pundakku.
Ia sungguh membuat tersipu saat berkata
bahwa menahan lapar adalah hal paling
ringan dari seribu ujian yang seharusnya
ditanggung. Sudahkah dapat ditahan mata
yang mengerjap ketika sesosok tubuh sedang
menghidangkan hasrat purbawi? Sudahkah
lidah ditahan untuk tak mengumpat barang
sehari? Sudahkan telinga dapat dikekang
untuk tak larut dalam gunjingan tanpa
arti?

Ramadhan adalah sahabat siang, adalah
sahabat malam. Ia mentertawakanku yang
menyambut azan magrib dengan kegairahan
orang kelaparan. Kepadaku ia nyanyikan
kidung tentang rintihan orang-orang
yang seluruh isi hidupnya adalah lapar.
Ramadhan mentertawakanku yang bersantap
sahur seperti reptil yang akan seminggu
tak makan. Bahwa masihkah bernama ujian
ketika tak berusaha menjalani dengan
apa adanya?

Sesingkat musim yang pendek, aku tahu
Ramadhan akan meninggalkanku pula. Di
ujung ladang, ketika orang-orang bersuka
cita, menabuh genderang hari kemenangan.
Ia yang suci tetap menyisakan misteri,
mengapa tetap pergi dengan mata berlinang?
Sebab selekas perginya, orang-orang akan
lekas juga lena. Bukankah sudah tak lagi
Ramadhan, bukankah pada masanya ia akan
tetap mengunjungi kita lagi?

Ramadhan yang tabah, Ramadhan yang setia.
Tapi, akankah ia masih setia datang
kepada seorang beruban, berlengan keriput
yang menggigil dalam himpit noda lumpur
dunia? Ia yang tak menemui, ataukah kita
yang tak lagi menemui, apalah bedanya.
Akan ada masa, ketika kita dan Ramadhan
tak lagi dapat saling bersua!

Samarinda, 11 Oktober 2006

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home