Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Friday, March 05, 2004

MIMPIKU DI BUMI ETAM

Oleh: Y. Wibisono

mimpiku di bumi etam
adalah pertiwi yang bernanah
darah menetes, gaunnya terkoyak
tercabik-cabik ranting kering
lalu menyisa luka hitam
dan airmata kerontang

mimpiku di bumi etam
adalah bukit-bukit yang terpanah rebah
rimba perawan yang terjamah kasar
terlentang hingga berbilur
rimba yang ditelanjangi
dan kita jumawa di atasnya
mengacungkan tongkat sihir
meniup serpihan tanah
menjadi hamburan permata
bagi tuan dan nyonya
menjelma surga semu
untuk jelata yang terlupakan

mimpiku di bumi etam
adalah tanah yang berkeringat
dengan peluh yang bertimbun
merayap di selokan kota
bercampur liur
di bibir membiru yang gusar
lalu, peluh dan liur itu membuncah
menjelma sepetak telaga hitam buram
menghampiri kita dengan jeritan
yang menyayat musim

dan, di ujung mimpiku
debu trotoar menghampiri
dan membisikku satu rahasia:
di sini, tak pernah ada mimpi

maka semenjaknya,
aku takut bermimpi di sini!

Samarinda, Maret 2004

Catatan:
aku saksikan developer gencar meratakan tanah, aku lihat gedung-gedungbertumbuhan seperti jamur di awal musim, aku juga lihat lumpur-lumpurmemenuhi selokan jalan, banjir hujan mengantarkan sampah busuk melintasi hidung kita. kutulis puisi ini karena aku cinta bumi etam!

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home