Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Friday, August 04, 2006

PARTITUR SETENGAH JADI

Oleh: Y. Wibisono

Ia yang mengaku bernama malam, mendatangiku di satu waktu. Entah kapan itu. Tanpa senyum, tanpa salam. Aku tak terganggu.

"Apakah pesananku sudah jadi?"

Benar, ialah yang telah memesan lagu padaku. Pesanan yang telah menghabiskan hampir seluruh waktuku.

"Belum, komposisinya tak mudah. Kau terlalu banyak meminta nada minor."

"Ah, kau pasti bisa. Selesaikanlah. Kali ini aku akan menemanimu, hingga selesai. Dan seperti kau tahu, waktuku selalu terbatas. Buatlah spesial. Aku tak mau ada yang mirip. Jadikan ia, satu-satunya laguku, lagu malam."

"Maaf, ada sedikit masalah. Dulu senja juga memesan lagu padaku. Dengan banyak nada minor juga. Lagunya berakhir tepat pada nada yang menjadi awal dari lagumu."

Ia terkejut. Seperti memekik. Aku ikutmenggigil. Tapi sekejap iapun lembut, seperti aslinya.

"Tak bisakah itu dibuat beda?", bisiknya. Aku semakin merasa dekat. Ia yang kutahu dari semula, memang seharusnya selalu berbisik,tak pernah berteriak.

"Bisa. Tapi berarti aku harus mengubah seluruh komposisi. Itu akan butuh waktu lama, seperti membuat ulang dari awal. Maukah kau?"

Ia terpekur, mungkin bersedih. Tiba-tiba rambutku, kulitku berselimut embun. Apakah ia menangis?

Kembali ia tersenyum. Ah, nampaknya aku mulai menyukainya, amat menyukainya. Ia mudah dan pandai mengatur perasaan.

"Hmm, biarlah jika demikian. Aku tak bisamenunggu lebih lama lagi. Tapi, maukah kau jujur, apakah lagu milik senja itu lebih bagus?"

Kali ini aku yang tersenyum. Ternyata ia bisa begitu kekanak-kanakan.

"Tak lebih baik dan tak lebih buruk. Tak bisa dibandingkan. Aku membuat lagu untuk senja dalam tempo cepat. Sedang lagumu kubuat lembut. Memang seperti tak bertenaga, tapi enak dinyanyikan. Bahkan walau hanya dengan bersenandung."

Ia tersenyum. Lebih manis dari semua senyum yang ada. Lalu akupun meneruskan komposisi itu dan ia menungguiku, memberi semangat padaku. Aku bergelora. Ia bergelora. Aku menulis notasi dengan bersenandung, ia mengiringi. Ah, aku sungguh ingin ini abadi.

Tiba-tiba ketika kulirik ia, wajahnya memucat. Aku berhenti menulis. Tepat ketika aku hendak menyelesaikan bagian akhir.

"Hei, kau sakit?"

Ia menggeleng lemah. Tanpa kusadari rambut, kulit dan bajuku telah penuh embun. Apakah ia menangis lagi?

"Kau lupa ya, waktuku sudah hampir habis. Tengoklah ke timur", ia mencoba tersenyum walau nampak semakin pucat.

"Tunggu, tak bisa demikian. Aku tinggal menyelesaikan bagian akhir. Bertahanlah sebentar."

"Tak bisa, kekasih. Biarlah bagian akhirnya kuselesaikan sendiri. Jangan bersedih. Kelak, jika aku benar mampu melengkapinya, akan kutunjukkan. Oh ya, aku amat menyukai bagian reff-nya. Itu amat mewakili diriku."

Kurasakan sesuatu yang begitu hangat. Apa ia sedang memelukku? Tapi ini tak cukup menghiburku. Ini tak adil, mengapa waktu demikian kejam?

Nampaknya ia benar-benar telah pergi. Kemudian aku meradang dan sebenarnya sangat ingin memaki fajar, tapi tak jadi. Tak baik. Siapa tahu suatu saat fajar akan memesan lagu padaku?

**

Kini, entah sudah berapa lama itu terjadi. Ia tak pernah mengabariku, apalagi berkunjung. Sudahkah ia selesaikan bagian akhir lagu itu?

Pada sebuah malam yang datang, aku tanyakan adakah ia kenal pada sebuah malam lain, malam yang dulu pernah kubuatkan lagu tapi tak sesesai? Sembari malu, kukatakan pula bahwa si malam itu pernah memelukku, serta kami pernah bersama dengan penuh gairah. Adakah pernah bertemu?

"Mungkin pernah, mungkin juga tidak. Banyak sekali malam seperti kami. Kau akan sulit membedakannya."

"Tapi ia beda. Amat berbeda. Seharusnya ia merinduku. Bahkan, ah benar, ia pernah memanggilku kekasih."

Ia tertawa, tapi ditahan seperti tak ingin menyakiti perasaanku. Tapi tetap saja aku tahu ia sedang mentertawakanku.

"Berharaplah suatu saat ia akan datang. Tapi itu jelas tak mungkin baginya. Ia adalah lalu, dan selamanya begitu. Begini saja. Maukah kau buatkan lagu untukku? Lagu tentang rindu saja, rindu tentang sesuatu yangtak pernah kembali. Dengan melodi yang beda dari semua lagu yang pernah ada."

Lalu akupun mencipta lagu rindu, tapi tetap dengan tanya menggayut di kepalaku. Bagaimana kekasih malamku yang dulu itu, menyelesaikan bagian akhir lagunya?

Samarinda, Agustus 2006

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home