Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Thursday, October 14, 2004

CENDAWAN JINGGA DI PUNCAK MERAPI

Oleh: Y. Wibisono

(Ini bukan tentang Mahakam, tapi mampu kutulis karena percikan riak Mahakam. Puisi ini kutulis untuk kawan Aulia Muttaqin, seorang penulis yang telah mencipta cerpen dengan judul yang sama)

pertemuan kita, Shella
seperti sebaris rumput kering yang tersaput embun
lalu memudar ketika mentari menampakkan sinar

berceritalah tentang apa saja
apapun itu adalah tak penting untukku
sebab aku terlalu sibuk
menghitung setiap ruas bulu matamu
juga sebentuk bibirmu yang kulukiskan
bagai bilahan rona mawar di taman yang basah

dan jalan terjal berbatu ini
hanyalah permadani indah yang kulangkahi
sebab genggam tanganmu mengalirkan kehangatan
dan menusuk terdalam
keringnya hati perantau seberang

jangan pernah paksa aku memilih
adakah, adakah yang terindah
bunga rumput liar yang bermahkota embun,
nyanyian murai yang menari di dahan jati
atau, gerai rambut hitammu yang dimainkan angin?
lalu akupun belajar menyimak
nyanyian hati yang kaukirimkan
lewat dua mata bening itu

malam ini, gadis
sepanjang perjalanan
kita hidupkan rindu
di antara gundukan-gundukan batu

seperti juga pagi
yang kerap enggan menjadi siang
maka akupun menyesali bergegasnya mentari
juga cendawan jingga yang perlahan meremang
membubung keperakan di puncak merapi
lalu demikianlah, kita sepakat menitipkan
satu dua kenangan di sana

ketika mentari sepenggalah
kitapun segera beranjak dari mimpi
menyadari jarak yang terentang
di antara bukit-bukit di puncak merapi
juga jarak yang perlahan tercipta
di antara hati kita
yang galau mengeja
satu kata: perpisahan!

Samarinda, Oktober 2004