Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Tuesday, November 28, 2006

KERETA TERAKHIR

Oleh: Y. Wibisono

Tinggal kau, lalu aku. Dan hati kita segera kosong seperti
stasiun ini. Rel beku, gerbong sunyi. Bahkan menyentuh
lenganmu saja aku tak berani. Adakah wajah selain wajah
kita di sini? Bulan pucat, wajah kita terpantul asing di
ujung peron. Pepohon berjajar dalam bayang remang.

Dingin, bisikmu. Aku mendengarnya seperti lagu lirih
menembus lembut gendangku. Merayap seperti kabut
di kepalaku, kabut yang dingin. Musim tak selalu ramah.
Entah mana yang lebih menakutkan. Ketakmampuanku
melukis garis malam atau aku yang meradang membaca
matamu?

Betapa nyanyi serangga, bulan pucat, dan perempuan,
bersekutu mereka memasung malam. Tawang yang sepi,
Tawang yang nglangut. Meski padanya telah terekam
beribu cerita. Duka bahagia, jangan tanyakan lagi. Tak
usah bersenandung cinta di sini, katamu. Sebab terlalu
banyak onggokan luka dan ceceran derita. Ah, padahal
aku berharap, cinta dapatlah menghapus nestapa.

Setiap persinggahan mencatat sisa tanya. Pun di sini.
Kereta datang dan pergi. Kisahpun bertumpuk. Telah
penuh lantai dinding atap stasiun dengan roman segala
abad. Kau temukan dirimu di sini? Seekor serangga
menabrak tiang lampu jalan. Kita terhenyak. Sungguh
waktu dan kita telah saling memburu.

Deru kereta seperti masih ada. Kereta yang melintas
di selasar hati. Tetap saja sunyi. Berpuluh pena telah
patah di tengah, teriris senyum di sudut bibir. Sungguh,
memuisikanmu sama sulitnya dengan menerka adakah
seseorang di stasiun berikut yang menunggu sepi seperti
kita? Tetap saja sunyi. Bangku-bangku, tiang, dan loket
telah tertidur.

Ingin kutembangkan Asmaradana, tapi nanti kau terpejam.
Barangkali jaman telah memutus, biarlah, di setiap
persinggahan selalu ada yang bermekaran. Tak ada yang
kekal. Seperti lamunan kita yang terbuyar ketika suara itu
mengirim pesan, dan sorot lampu yang membelah kabut di
kejauhan. Kereta terakhir. Seperti pertanda, akankah kisah
berakhir? Tak perlu dipercakapkan. Berikan saja dekapan
terhangat. Juga butir airmata penghabisan, yang masih
bisa kuusap.

Samarinda, 28/11/2006

Wednesday, October 11, 2006

MERINDU RAMADHAN

Oleh: Y. Wibisono

Ramadhan mendatangiku seperti seseorang
yang muncul dari masa kecil. Membawa
cerita tentang petasan dan meriam bumbung.
Juga sepotong kisah ketika malam-malam
serombongan kanak berkeliling kampung,
memukuli bambu, membanguni petani yang
lelap dalam mimpi tentang panen semu
dan musim yang melambai pergi.

Ramadhan mengunjungiku. Ia datang, seperti
seorang utusan dari negeri kubur. Berkisah
tentang jiwa-jiwa yang meluruh, menggumuli
malam dengan zikir-zikir panjang, dengan
tasbih yang tiap butirnya adalah airmata
yang membatu. Membawakanku cermin, yang
padanya tergambar segala coreng legam
jejak langkahku.

Ramadhan menyapaku, memegang pundakku.
Ia sungguh membuat tersipu saat berkata
bahwa menahan lapar adalah hal paling
ringan dari seribu ujian yang seharusnya
ditanggung. Sudahkah dapat ditahan mata
yang mengerjap ketika sesosok tubuh sedang
menghidangkan hasrat purbawi? Sudahkah
lidah ditahan untuk tak mengumpat barang
sehari? Sudahkan telinga dapat dikekang
untuk tak larut dalam gunjingan tanpa
arti?

Ramadhan adalah sahabat siang, adalah
sahabat malam. Ia mentertawakanku yang
menyambut azan magrib dengan kegairahan
orang kelaparan. Kepadaku ia nyanyikan
kidung tentang rintihan orang-orang
yang seluruh isi hidupnya adalah lapar.
Ramadhan mentertawakanku yang bersantap
sahur seperti reptil yang akan seminggu
tak makan. Bahwa masihkah bernama ujian
ketika tak berusaha menjalani dengan
apa adanya?

Sesingkat musim yang pendek, aku tahu
Ramadhan akan meninggalkanku pula. Di
ujung ladang, ketika orang-orang bersuka
cita, menabuh genderang hari kemenangan.
Ia yang suci tetap menyisakan misteri,
mengapa tetap pergi dengan mata berlinang?
Sebab selekas perginya, orang-orang akan
lekas juga lena. Bukankah sudah tak lagi
Ramadhan, bukankah pada masanya ia akan
tetap mengunjungi kita lagi?

Ramadhan yang tabah, Ramadhan yang setia.
Tapi, akankah ia masih setia datang
kepada seorang beruban, berlengan keriput
yang menggigil dalam himpit noda lumpur
dunia? Ia yang tak menemui, ataukah kita
yang tak lagi menemui, apalah bedanya.
Akan ada masa, ketika kita dan Ramadhan
tak lagi dapat saling bersua!

Samarinda, 11 Oktober 2006

Tuesday, August 29, 2006

PERNIKAHAN

Oleh: Y. Wibisono
(untuk Poppy, sebuah kado yang telat disampaikan)

Lalu kau sentuh kaki perempuan
itu, kau letakkan kepalamu di
pangkuannya. Kau rasakan,
pipimu dipenuhi kehangatan
kasih yang selalu kau damba
sejak belia. Dengan pelan,
kau ucap: "Ibu, sudah
bolehkah aku menikah?"

Perempuan itu tersenyum. Ia
menyentuh rambutmu, lalu
menelusuri dari pangkal
sampai ujung. Berkali-kali.
Ah, kau ingin itu abadi.
Jemari ibu yang menyematkan
sejuta cinta.

Pernihakan itu, anakku:

Adalah ketika matahari dan
rembulan saling bertukar senyum.

Adalah ketika cinta tak lagi
cukup diucapkan.

Adalah ketika awan tak lagi bosan
menjelma hujan, menyiram padang
belukar dan karenanya bunga-bunga
dapat bermekaran sepanjang musim.

Adalah ketika kaupun siap menjadi
diriku.

Perempuan itu mengangkatmu berdiri,
mencium keningmu dan memelukmu
dengan dekapan terhangat, seperti
yang biasa ia lakukan padamu
beribu kali.

Samarinda, Agt 06

Wednesday, August 16, 2006

GADIS YANG MENULIS PUISI

Oleh: Y. Wibisono
:untuk hadiah ultah Maulin

Gadis yang berdiri di
simpang usia itu, sangat
ingin membenci waktu.
Baginya, waktu hanya seperti
angin, sahabatnya yang lain.
Tak pernah benar-benar di
sisinya, terus mengalir dan
hanya menyisakan peristiwa-
peristiwa yang harus dikenang.

Ketika ia akhirnya sampai
di simpang ke-19, ia berkata
pada masa remajanya: "Maukah
kau untuk terus bersamaku?"

Masa remaja itu cukup bijak.
Ia sudah cukup banyak bertemu
dengan gadis-gadis yang selalu
menangisi perpisahan.

"Kita tak pernah berpisah, wahai
bunga yang berseri. Aku akan ada
di satu ruang rahasia di hatimu.
Akan ada setiap kau merinduku."

Tetap saja gadis itu bersedih.
Angin yang tak tega menyaksikan,
memetik setangkai daun seroja
dan membawa ke pangkuannya.

"Tulislah puisi di daun ini", kata
angin," tentang matahari saja.
Ia tak pernah berubah. Bukankah
sejak kecil kau punya matahari
yang sama?"

Gadis itu tersenyum berbinar. Sejak
itu ia tahu, ia bisa bermanja dengan
seluruh masa lalunya, dengan menulis
puisi.

Samarinda, 16/08/2006

Friday, August 11, 2006

EGA

Oleh: Y. Wibisono

Dengan seolah bersungguh, pria
itu berbisik kepadamu:
"Telah aku taruh sepotong sajak,
di salah satu sudut meja. Pada
bagian yang paling rahasia. Adakah
kau temukan?"

Kau boleh tersipu, tapi tak perlu
takut. Ia hanya pria, Ga. Seorang
pria, yang bersenandung tentang
hasrat purba.

Ia membayangkan, dalam kilau cahaya,
dan alun melodi bossas, menulis puisi
di atas kulit tubuhmu.

Tak usah malu untuk tertawa. Kau
bayangkan, seorang pria akan
mengaduh terjengkang, tergelincir
kulit betismu.

Adakah di hatimu banyak warna? Seperti
warna-warna bola yang kau susun dalam
bentuk segitiga, sesaat sebelum pukulan
spot pertama membuatnya berantakan?

Ia hanya pria, Ga. Yang pasti akan pulang
ketika malam benar-benar menjadi gelap.
Tetap saja ia masih mengganggumu:
"Masih maukah kau berlelah mencari
potongan sajak yang lain? Aku menaruhnya
di antara 15 bola di atas meja."

Ah, ia hanya pria. Masih juga kau pedulikan.
Dan ketika kau sadar, kau akan dapati
:Pria itu ternyata selalu menulis potongan
sajak di bola nomor delapan!

Samarinda, 11/08/2006

Tuesday, August 08, 2006

LELAKI DAN REMBULAN (3)

Oleh: Y. Wibisono

Lelaki yang tersungkur bersimbah darah
itu mengaku telah mencabik wajah dan
hampir seluruh tubuhnya. Ia telah
bersalah dan memohon kekasihnya
untuk menghukum. Ia telah berselingkuh
dengan rembulan. Kekasihnya tak memaafkan,
tak menghukum, dan hanya memberi pilihan
:dirinya atau rembulan.

Lelaki itu menghukum diri atas
kesalahannya, tapi untuk pilihan itu
ia putuskan untuk melewati seluruh
malamnya bersama rembulan.

Monday, August 07, 2006

LELAKI DAN REMBULAN (2)

Oleh: Y. Wibisono

Lelaki itu terus memohon kepada Tuhan,
agar kiranya sudi mengubah dirinya
menjadi kanak lagi. Ia sudah membayangkan
sebuah tempat, sebuah padang rumput
dengan sedikit semak di tengahnya.

Ia ingin di suatu malam, bertelanjang
dada tanpa sepatu mengendap dalam semak
itu. Sekedar ingin tahu siapakah raksasa
yang selalu memangsa rembulan itu.
Menyisakan irisan melengkung yang
makin menipis, lalu ketika kekenyangan
ia akan mengembalikan sedikit demi
sedikit wajah sang rembulan.

Ibunya pernah membisikkan satu rahasia
:raksasa itu hanya mau menampakkan
wajahnya pada seorang kanak!

LELAKI DAN REMBULAN (1)

Oleh: Y. Wibisono

Lelaki itu sangat ingin memanah
rembulan. Tepat di tengahnya.
Darah yang memancar ia harapkan
akan membuat seluruh malam
berwarna merah.

Ia tak suka malam yang pucat!

Karena bidikannya selalu meleset,
dan setelah bertimbang segala
sesuatunya, maka malam itu
ia putuskan untuk memanah
jantungnya sendiri.

Friday, August 04, 2006

PARTITUR SETENGAH JADI

Oleh: Y. Wibisono

Ia yang mengaku bernama malam, mendatangiku di satu waktu. Entah kapan itu. Tanpa senyum, tanpa salam. Aku tak terganggu.

"Apakah pesananku sudah jadi?"

Benar, ialah yang telah memesan lagu padaku. Pesanan yang telah menghabiskan hampir seluruh waktuku.

"Belum, komposisinya tak mudah. Kau terlalu banyak meminta nada minor."

"Ah, kau pasti bisa. Selesaikanlah. Kali ini aku akan menemanimu, hingga selesai. Dan seperti kau tahu, waktuku selalu terbatas. Buatlah spesial. Aku tak mau ada yang mirip. Jadikan ia, satu-satunya laguku, lagu malam."

"Maaf, ada sedikit masalah. Dulu senja juga memesan lagu padaku. Dengan banyak nada minor juga. Lagunya berakhir tepat pada nada yang menjadi awal dari lagumu."

Ia terkejut. Seperti memekik. Aku ikutmenggigil. Tapi sekejap iapun lembut, seperti aslinya.

"Tak bisakah itu dibuat beda?", bisiknya. Aku semakin merasa dekat. Ia yang kutahu dari semula, memang seharusnya selalu berbisik,tak pernah berteriak.

"Bisa. Tapi berarti aku harus mengubah seluruh komposisi. Itu akan butuh waktu lama, seperti membuat ulang dari awal. Maukah kau?"

Ia terpekur, mungkin bersedih. Tiba-tiba rambutku, kulitku berselimut embun. Apakah ia menangis?

Kembali ia tersenyum. Ah, nampaknya aku mulai menyukainya, amat menyukainya. Ia mudah dan pandai mengatur perasaan.

"Hmm, biarlah jika demikian. Aku tak bisamenunggu lebih lama lagi. Tapi, maukah kau jujur, apakah lagu milik senja itu lebih bagus?"

Kali ini aku yang tersenyum. Ternyata ia bisa begitu kekanak-kanakan.

"Tak lebih baik dan tak lebih buruk. Tak bisa dibandingkan. Aku membuat lagu untuk senja dalam tempo cepat. Sedang lagumu kubuat lembut. Memang seperti tak bertenaga, tapi enak dinyanyikan. Bahkan walau hanya dengan bersenandung."

Ia tersenyum. Lebih manis dari semua senyum yang ada. Lalu akupun meneruskan komposisi itu dan ia menungguiku, memberi semangat padaku. Aku bergelora. Ia bergelora. Aku menulis notasi dengan bersenandung, ia mengiringi. Ah, aku sungguh ingin ini abadi.

Tiba-tiba ketika kulirik ia, wajahnya memucat. Aku berhenti menulis. Tepat ketika aku hendak menyelesaikan bagian akhir.

"Hei, kau sakit?"

Ia menggeleng lemah. Tanpa kusadari rambut, kulit dan bajuku telah penuh embun. Apakah ia menangis lagi?

"Kau lupa ya, waktuku sudah hampir habis. Tengoklah ke timur", ia mencoba tersenyum walau nampak semakin pucat.

"Tunggu, tak bisa demikian. Aku tinggal menyelesaikan bagian akhir. Bertahanlah sebentar."

"Tak bisa, kekasih. Biarlah bagian akhirnya kuselesaikan sendiri. Jangan bersedih. Kelak, jika aku benar mampu melengkapinya, akan kutunjukkan. Oh ya, aku amat menyukai bagian reff-nya. Itu amat mewakili diriku."

Kurasakan sesuatu yang begitu hangat. Apa ia sedang memelukku? Tapi ini tak cukup menghiburku. Ini tak adil, mengapa waktu demikian kejam?

Nampaknya ia benar-benar telah pergi. Kemudian aku meradang dan sebenarnya sangat ingin memaki fajar, tapi tak jadi. Tak baik. Siapa tahu suatu saat fajar akan memesan lagu padaku?

**

Kini, entah sudah berapa lama itu terjadi. Ia tak pernah mengabariku, apalagi berkunjung. Sudahkah ia selesaikan bagian akhir lagu itu?

Pada sebuah malam yang datang, aku tanyakan adakah ia kenal pada sebuah malam lain, malam yang dulu pernah kubuatkan lagu tapi tak sesesai? Sembari malu, kukatakan pula bahwa si malam itu pernah memelukku, serta kami pernah bersama dengan penuh gairah. Adakah pernah bertemu?

"Mungkin pernah, mungkin juga tidak. Banyak sekali malam seperti kami. Kau akan sulit membedakannya."

"Tapi ia beda. Amat berbeda. Seharusnya ia merinduku. Bahkan, ah benar, ia pernah memanggilku kekasih."

Ia tertawa, tapi ditahan seperti tak ingin menyakiti perasaanku. Tapi tetap saja aku tahu ia sedang mentertawakanku.

"Berharaplah suatu saat ia akan datang. Tapi itu jelas tak mungkin baginya. Ia adalah lalu, dan selamanya begitu. Begini saja. Maukah kau buatkan lagu untukku? Lagu tentang rindu saja, rindu tentang sesuatu yangtak pernah kembali. Dengan melodi yang beda dari semua lagu yang pernah ada."

Lalu akupun mencipta lagu rindu, tapi tetap dengan tanya menggayut di kepalaku. Bagaimana kekasih malamku yang dulu itu, menyelesaikan bagian akhir lagunya?

Samarinda, Agustus 2006

Friday, July 21, 2006

JEMBATAN TUA

Oleh: Y. Wibisono

Warung tua, pemilik tua,
dan jembatan tua.
Sudah berapa lembarkah ditulis,
untuk hari-hari yang lewat? Pada
bangku ulin dan tiang-tiang renta?

Warung tua, pemilik tua,
dan jembatan tua.
Barangkali ada juga cinta.
Cinta sederhana.
Cinta perempuan tua
pada jembatan tua.