Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Friday, July 21, 2006

JEMBATAN TUA

Oleh: Y. Wibisono

Warung tua, pemilik tua,
dan jembatan tua.
Sudah berapa lembarkah ditulis,
untuk hari-hari yang lewat? Pada
bangku ulin dan tiang-tiang renta?

Warung tua, pemilik tua,
dan jembatan tua.
Barangkali ada juga cinta.
Cinta sederhana.
Cinta perempuan tua
pada jembatan tua.

Saturday, July 15, 2006

SEBAB KAMI HANYALAH ANGKA, BAGIMU

Oleh: Y. Wibisono

Ini hanya tentang sejumlah tubuh, biru
dan lebam. Tersangkut batu, pasir, ranting
dan sampah. Beberapa merintih. Beberapa
diam, selamanya.

Jerit itu bermula dari ujung banda. Lalu
menggema di selatan Jawa. Dan selekas
kau terhenyak, selekas pula kau lupa.

Bisakah kau rasa, beda airmata dan darah?
Tubuh membusuk dan luka bernanah?

Di Aceh, Bantul, Pangandaran:
ada aroma kami di sana. Masih ada:
pada batu, pasir, ranting dan sampah. Benar,
tak hanya di sana. Kami ada di sejumlah
lainnya. Adakah kau hafalkan?

Sebab kami hanyalah angka, bagimu.
Sejumlah angka, yang terus kau nikmati
di layar televisimu. Kau hitung dengan jari
tangan jari kaki lalu karena angka itu tak juga
berhenti sambil meringis kau hitung juga
dengan rambutmu.

Sebab kami hanyalah angka, bagimu.
Seperti rupiah yang tertata rapi di layar
kacamu. Lalu, ah, mari terus bicara.
Mari menabur janji, selagi kita
masih bisa mengibuli.

Sebab kami hanyalah angka, bagimu.
Adakah angka-angka punya rasa?

Samarinda, Juli 2006