Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Friday, June 11, 2004

KOTA INI MENYUKAIMU

(untuk gadis D, pengganti souvenir yang tak sempat kukirim)
Oleh: Y. Wibisono

(1)
sebatang sungai berkelok di antara hati yang meragu
dan di muaranya aku masih saja memilin
pintalan cerita dengan akhir yang selalu ambigu

barangkali masih ingin kuceritakan lebih lengkap lagi
tentang bisikan daun-daun gmelina
dan keluh kesahnya tentang hujan
yang tak mampu didekapnya erat

barangkali aku masih juga ingin mengajakmu
menghitung kerlip lampu yang berjajar di sepanjang mahakam ini
dan kitapun segera menjadi kanak
yang berlari riang bermandi cahayanya

barangkali ada yang ingin jujur dikatakan:
( senyum klatenmu
dengan kacamata minus itu
sungguh telah mempayaukan perasaan)


(2)
seperti pucuk gmelina itu
yang tak pernah bisa bersandiwara pada embun
tentang musim kemarau dan musim hujan
juga ketika angin utara dan angin selatan
menghampirinya dengan kisah yang selalu berbeda

maka dengan ketinting yang kudayung
aku akan mengantarmu seperti punggawa kerajaan silam
mengitari sudut negeri dengan perhelatan pesta semu
bersama perantau gunung dan pengembara savana
saling bertukar cindera mata, dengan hati dan jiwa

lalu kita sapa dinginnya dinding bukit gunung lipan
dengan canda tawa yang digemakan
oleh tiang-tiang jembatan
aku katakan: kota ini menyukaimu!
( senyum klatenmu
dengan kacamata minus itu
akan selalu ditunggu di sini)


(3)
bahkan pertemuan ini masih menyisakan gundah
seperti teriakan serangga sawah yang kehilangan hujan

lalu akupun belajar menghargai perpisahan
sebuah sungai, di antara senyummu
dan kerinduanku

biarlah cerita ini dititipkan
pada musim yang pergi
setelahnya ijinkan aku menelusuri sendiri
jejak yang telah diburamkan
oleh hujan perpisahan di ujung musim

aku terlena dalam lamunan itu
ketika tiba-tiba senyummu berkelebat
meninggalkan sebuah goresan panjang di langitku
yang tak pernah ingin kuhapuskan!

Samarinda, Juni 2004

Thursday, June 10, 2004

PERJALANAN (3)

Oleh: Y. Wibisono

akupun berkemas
melipat senyum di dalam koper
:selamat berjumpa kembali dengan debu

perpisahan ini tak akan dikenang
seperti daun yang jatuh ditiup angin
seekor tupai dan ranting akasia
meringkuk ditelan sepi
seperti keringnya mimpi kami
tentang warna-warna emas bulir padi
dan sekawan pipit yang bernyanyi
tentang panen dan orang-orangan sawah

kembali kami menghitung debu
kaca kendaraan hanyalah bentangan
kanvas coklat yang buram
roda yang menderik dan debu yang bergulung,
seperti inikah negeri sihir?

kali terakhir,
kami menyapa ladang kering dan rumput liar
dengan mimpi yang tak lagi disuarakan

Samarinda, 9 Juni 2004

Wednesday, June 09, 2004

PERJALANAN (2)

Oleh: Y. Wibisono

mahoni tua itu ternyata masih mengenaliku
dan segera saja kami akrab berkelakar
tentang lelaki yang hatinya gersang
seperti tebing-tebing kapur
dengan garis hitam melintang di kejauhan
lalu aku bilang: anginmu kering
seperti musimmu yang kering
bahkan hujan semalampun
adalah hujan yang meradang

dan layaknya arus di riam udang
ceritamupun mengalir deras ke uratku
tentang rimbamu dulu yang bagai dongeng
dengan mata air dari kayangan
burung-burung dan siamang yang bergelantungan
juga hantu-hantu pulau kumala
yang mengunjungimu di akhir pekan
aku katakan: itu lalu!
rimba-rimba itu telah lari
dikejar para pendatang
pulau itupun, kau tak mengenalinya pula
maka, inilah kau
yang tersisa dari mimpi itu

aku ceritakan tentang banjir di kotaku
banjir yang menggelepar
banjir yang menggenang
dari tetesan liur para pemburu proyek
menghajar gunung dan menimbun rawa
maka, inilah kita
yang tersisa dari mimpi itu

Samarinda, 8 Juni 2004

Tuesday, June 08, 2004

PERJALANAN (1)

Oleh: Y. Wibisono

samarinda - teluk dalam - sebulu
berjam-jam kami mengeja debu
matahari telah mengupas atap kendaraan
juga menggosongkan kepala para pekerja kayu
:ini khatulistiwa yang sebenarnya!
lalu kamipun mentertawakan semak-semak
di sisi jalan berdahan dan berdaun debu

musim yang gelisah,
segelisah hati para transmigran
mengganti lembu dengan truk-truk kayu
mengganti lumbung padi dengan mini-sawmill
lalu batang-batang padipun
hanyalah artefak mimpi yang tak jadi
mimpi yang memimpikan mimpi
seperti lagu yang ringan:
transmigran tak bertani
transmigran tak berladang

kamipun menziarahi rerumputan liar
dengan senyum dan duka yang beradu

Samarinda, 7 Juni 2004