Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Wednesday, May 19, 2004

KOTA INI SAKIT JIWA

Oleh: Y. Wibisono

seorang gadis telah berpisah dengan air mata
dilipatnya selaput dara lalu bergegas ke pasar lelang
seorang lagi ketawa sendiri
di depan cermin bermimpi kawin dengan matahari

di pertigaan muara
seorang anak jalanan telah memanah matahari
matahari yang terluka lapor ke polisi
dicatat petugas jaga, tunggu
semua pasukan lagi di lapangan
menjaga pasar lelang!

di tempat lain
seorang pejabat telah memperkosa keadilan
lalu mencampakkannya terkangkang di tikungan jalan
anak-anak jalanan datang menghibur
keadilan bangkit merangkul anak jalanan
lalu bergegas lari tak tahan baunya

di pasar lelang
para pria memegangi tali kolor
dengan aroma seperti siluman gunung lipan
lalu riuh rendahlah tawar menawar itu
dengan lembaran uang bergambar banjir
dan bukit-bukit yang teriris

di depan kantor gubernur
anak-anak jalanan mengacungkan kepalan tangan
kami tak takut matahari!
kami tak takut matahari!
sebab sebenarnyalah kami ini
anak matahariyang tak pernah diakui

malamnya, di sudut tepian itu
seorang ibu tua di tengah-tengah transaksi
jagung bakar dan susu kental manis

rembulan pergi dengan mata berlinang
:kota ini sakit jiwa

Samarinda, 18 Mei 2004

Tuesday, May 18, 2004

SEBUAH PESAN

(untuk Bramantyo Wibisono)
Oleh: Y. Wibisono

pagi ini kau kejutkan kami semua
kau berdiri! meski tanganmu masih lekat di meja
tak lagi kau merayap, merangkak dan berguling
mengelilingi dunia tumbuhmu
sebentar lagi tinggalkan meja itu nak
juga tinggalkan sebentar tangan mamamu
cobalah melangkah, dengan kaki sendiri
meski berat tapi banggalah
kau lelaki berjalan dengan kaki sendiri!

kelak,
tak usah bercita jadi politikus
kalau hanya pandai berkicau dan jualan janji
tak perlu juga bercita jadi pengacara, jaksa apalagi hakim
kalau bisanya hanya berdagang keadilan
tak perlu juga bercita jadi wartawan
kalau hanya pandai menjual fakta untuk sebuah amplop
juga tak perlu bercita jadi polisi juga tentara
kalau kerjanya tak lebih dari preman pasar pagi

jika terpaksa nak, dan kau tak bisa mengelak
jalanilah dengan nurani, nurani dan nurani
sebab bangsa ini telah lama tak punya nurani

jangan pernah takut menentang arus
sebab jika kau sendirian dalam kebenaran
maka Tuhanlah di sebelahmu

telah kami tiupkan cinta pada tiap helai rambutmu
agar kelak kau pun bisa cinta sesama
telah pula kami tiupkan doa di pembuluh darahmu
agar kelak kau tak pernah lupa pada Ilahi

jika kau bertanya mesti bercita apa
maka, bercitalah jadi lelaki
yang sebenar-benarnya lelaki!

Samarinda, 17 Mei 2004

Monday, May 17, 2004

SEBUAH RINDU

(untuk gadis T yang akan berhari jadi)
Oleh Y. Wibisono

angin dan kabut tiba-tiba menjelmakan bayangmu di kaca jendela
dengan gaun yang meniupkan seribu kenangan
aku menggigil, melayang dan lesap
di sudut pagi yang membekukan tulang belulang
di belasan bukit yang terlewat, ngarai-ngarai yang terkubur
dengan inspirasi yang dihamburkan seperti daun musim gugur
hanyalah sketsa buram dari lukisan yang tak pernah jadi
aku lelaki, melarikan mimpi dari perjalanan kita yang tak jadi dimulai

sebuah negeri tiba-tiba saja memberi kehidupan
dan demikianlah lagu itu
mahakam yang bernyanyi, mahakam yang merindui
bersama kapal yang lewat, dengarlah kolaburasi kami
masih saja yang tercipta adalah sajak sunyi
dan sungai yang mengalirkan kepiluan
:tetap saja aku mengingatmu

seperti pesta suku terasing
aku menarikan rindu dalam gairah terliar
dan bertakzim pada lukisan-lukisan batu di situs bisu
yang dilempar dari sisa pertemuan kita
aku berdansa bersama api sunyi dan bara yang memerahkan sepi
angin, serangga, hutan dan semua yang menunggu mentari
kami memekik seperti lolong hyena yang berlari
mengejar setiap mimpi yang terlewati

angin dan kabut tiba-tiba menjelmakan bayangmu di kaca jendela
dengan gaun yang meniupkan seribu kenangan
aku tercabik ketika sebuah malam menikam anganku
dengan pisau yang disimpan dari masa lalu
kita berdua, dalam kereta yang terpisah di tikungan takdir
dengan tangis dan tawa yang kita larungkan di pantai selatan
bersama tatapmu yang tetap membius lamunan
lalu janji itu pun seperti jeruji
yang dihampar dalam penjara waktu
dan lenyap menjelma sepotong lirik
yang dibawa camar ke lautmu
:tetap saja aku merindumu

Samarinda, 16 Mei 2004