Tembang Mahakam: Nyanyian Sungai Khatulistiwa

Mahakam, o, mahakam. Kutuliskan semua rasa yang menggelora itu di sini. Di antara riak gelombangmu yang tak pernah bosan kutatap berlama-lama. Ijinkan sajak-sajak ini terus kudendangkan, bersama angin dan kapal yang lewat.

Friday, January 02, 2004

KONTRADIKSI, AKU - HAN

Oleh: Y. Wibisono

kita ngobrol di sudut café itu
berseberangan meja
aku, dengan segenap lelahku
menarikmu dalam perbincangan yang kaku

marilah, Han
kita ukur dalamnya rentang ini
engkau di utara dan aku di selatan cakrawala

tangan ini adalah persahabatan
andai kau percaya
kurenangi hatimu, ketelusuri matamu
kau tak hangat benar, Han
jiwamu liar gelisah

tanah ini tanah kita
kita hirup udara yang satu dalam nafas kita

Han, baiklah memang
aku bikin garis di meja kita
menembus lantai, dinding dan atap café ini
ini aku, di seberangmu
yang bersedekap dan membisu
aku, patung batu
dan kau porselen mengkilat yang gelisah
kita akan lewati diskusi panjang dengan diam

kau lihat,
kutenggak gelas ini dua kali teguk
dan kau begitu lama

jabat tangan ini, mungkin terakhir
dan kita keluar café
lewat pintu yang beda …

(Jakarta, Citraland, 1997)

INI AKU, ANAKMU

Oleh: Y. Wibisono

jiwa ini adalah rajutan kalian, aduhai
merangkai do’a di sudut malam
menitip sembah bakti pada sang angin

(Samarinda, 1998)

KINI KUTAHU

Oleh: Y. Wibisono

pernah kuingin menentang matahari
dan sentuhkan telunjukku agar dia padam
ada saatnya pernah juga hendak kupanggil rembulan
kubelai agar sinarnya tak redup

pernah hendak kuratakan pegunungan
dan mengubur rapat lembah-lembah yang bisu
pernah juga ingin kuhirup samudera
semburkan airnya ke gurun yang terkapar dahaga

dan kini kutahu yang kubutuhkan
setangkai mawar merah
damai merasuk di sukmaku
kucium dan kubawa melayang ke angkasa merah

(Samarinda, 1997)

PAGI, KABUT DAN BIMBANGKU

Oleh: Y. Wibisono

Hamparan rerumputan dan bening air kolam,
selamat pagi ...
bersama rindang ranting pohon dan kabut tipis ini
ingin kumanja semua rasa

mata kail yang terayun ringan
terpercik indah dalam bias mentari pagi
menabur harap pada yang riang berenang di sana
datanglah dan sudilah makan

jiwa yang tak jua menyatu dalam kesempurnaan pagi ini
mencoba tertatih mengenang yang pernah ada
seakan tersesat saat kucoba berlari
dan sadarkan
tiga tahun telah terlewati
pergi bersama kabut yang ditepis sang angin

dan kau adinda,
akankah kutemukan di bening matamu,
setangkai cinta dalam keharuman
(yang kudambakan sekuat karang pantai selatan?)
sementara
hati ini kerap berubah warna

di sudut pagi yang berhiaskan kemilau embun
kucoba lantangkan kegetiran ini
janji,
benarkah hanya terali besi
yang kan membelenggu
dan hempaskan diri dalam kesedihan?

pagi, kabut dan
aku termangu ...

(Samarinda: Lempake, 12 Mei 1996)

GALAU

Oleh: Y. Wibisono

melangkah pelan
dibawah gerimis sore
samar, aku cari damai
:meski hati dirajam selaksa tanya, adakah?

gerimis yang kian deras
kasar menerpa lembar anganku
tak kurasa
meski hati menjerit lirih
perih!

gerimis yang kian deras juga
seakan mengajak berpaling
menyeringai pada batas duka lama

pagi yang lelah menadah
kian terkuyup ditelan sepi
dan dinginpun
kian menusuk hati

(Trenggalek, 1989)

PASTI

Oleh: Y. Wibisono

kemilau embun di atas daun
adalah setiaku yang abadi
di lintas kemarau
dalam deras hujan

badai yang datang sebelum waktunya
adalah tawa yang manja
pada hati yang tiada lelah
merajut cinta dalam simpul-simpul do’a

dekapanku yang panjang
takkan terenggut
sebab,
kasihku kupahat di atas pelangi
pada awan
pada langit
pada sayap-sayap camar

(Surabaya, 1990)

PADANYA, DENGAN HARAP

Oleh: Y. Wibisono

kulukis hujan dalam warna suram
gurat lemah di atas bukit
adalah gerimis yang tersisa
di batas malam

maaf, senjamu terlukis berupa-rupa
lalu membias tanpa pesan
bagai hamburan asaku
bertabur-lebur, bersama angin

kulukis hujan dalam warna kelam
gurat biru di langitku
adalah hati yang pasrah mengharap
andai kau tak suka
kan kuganti dengan bercak merah
jangan cemas tintaku kan habis
sebab, aku masih punya darah

(Semarang, Hotel Islam, Februari 1991)

JINGGA

Oleh: Y. Wibisono
(Kutulis untuk Jack)

Lemah…
saat jemari bergetar
seperti dulu
aku tetap tak mampu

(Malang, Ketawanggede, 1989)